Cinta dalam sepotong lipstick


“Cih! Lelaki macam kau mana bisa punya istri!”

“Lihat dirimu!”

“Kehidupanmu!”

“Pekerjaanmu!”

“Kantongmu!”

“Huh!” ibu yang lebih tepat dipanggil nenek itu mengakhiri penghakimannya atas diriku dengan memoleskan sebuah gincu pada bibirnya yang sudah mulai keriput.

“Eh? Apa yang salah dengan pekerjaanku?” gumamku lirih lalu mundur teratur dari hadapannya. Pandangan dua bola mata ini pun tak mampu beranjak dari lantai, tembok, pagar, lalu jalan-jalan sempit di seputar perkampungan padat pinggiran kota.

“So?”

“Jadi.... Apa?”

“Mengapa?”

“Siapa?” aku bertanya tanpa jawaban pada hati dan jiwaku



***



Di hadapan pintu kayu yang sudah lapuk pantatku terhempas dengan piasnya. Sebatang rokok tak jadi menyala karena lebih dahulu selembar koran basi menampar muka dan memberi sebuah berita duka, matinya seorang perokok pasif!

“Aku tak punya apa pun selain cinta!” sebuah judul fiksi roman picisan terpampang di halaman tiga.

“Sepertinya menarik?” aku menawari jiwaku untuk membaca fiksi itu dan ia mengiyakan dengan lemah.

Pada paragraf-paragraf awal kujumpai banyak kiasan cinta yang sangat romantis namun tak berbobot. Bagaimana ia, sang tokoh utama menyatakan dirinya sebagai lelaki yang sangat mencintai perempuan pujaannya, namun tak disertai dengan tanggung jawab sebagai seorang calon kepala rumah tangga, ia seorang pengangguran nyata!

“Aku mencintaimu sepenuh hatiku, jiwaku, hidupku....”

“Bullshit!”

“Biarlah sepiring berdua, asal kau ada”

“Ah non-sens! Nggak realistis!”

“Mari kita bersatu dalam cinta yang syahdu...”

“Makan tuh cinta!” mulutku makin tak terjaga, makin asyik memaki, seperti kegiranagan karena mendapatkan pelampiasan rasa kesal yang beberapa waktu lalu menimpa jiwa. Bagaimana mungkin berkeluarga tanpa tiang finasial sedikit pun? Apakah bisa hidup dengan cinta? Kasih mesra? Atau kesetiaan saja, tanpa uang untuk mengepulkan asap dapur rumah tangga?

“Ah non-sens! Nggak realistis!”

“Bullshit! Mirip sinetron saja!”

“Iya mas, betul itu!”

“Iya betul banget!”

“Makanya mas jangan jadi yang kayak begituan....”

“Ingat mas kudu tanggung jawab, masak berani naksir, tapi uang pas-pasan, huhh!”

“Lho?” aku terkejut dengan jawaban-jawaban yang kian satir atas gumamku, lalu ketika aku mendongak kulihat ia, seorang yang sangat aku ingini,

“Eh kamu Sri? Sud.. su.. dah lama di sini?” aku terbata-bata bertanya karena grogi dan tak tahu harus berkata apa

“Sampun mas... Panjenengan itu sedang mengumpati diri sendiri atau menyindiri diri sendiri to?” (Sampun=sudah, panjenengan=kamu)

“Maksudmu Sri?”

“Ah kura-kura dalam perahu tho panjenengan niku mas? Sudah tahu naksir aku, tapi kok dirimu tak beranjak dari jabatan staf dan staf dan staf? Kapan jadi manajernya? Memang aku mau dikasih makan singkong?” (panjenengan niku=kamu itu)

“Eh?”

“Tapi, tapi, tapi aku cinta kamu Sri,” aku panik

“Makan tuh cinta!” balas Sri ketus sambil melempariku dengan sebatang lipstick merah murahan pemberianku tiga hari yang lalu.


djs (pernah saya posting di kompasiana, dengan nama akun bowo bagus)

Comments

:)