September Ipsum In Lorem




Apakah dua cangkir kopi cukup buatmu berhenti menaruh tatap padaku? Seperti elang saja dua bola mata itu, menajam lalu beranjak melahap. Aku bukan siapa-siapa, hanya deburan ombak di akhir senja yang merindu malam. Tak ada keindahan pun keajaiban yang sering mereka sebut cinta dan kasih sayang....

Tring.... dua gelas beradu, membawa aroma-aroma keletihan hari kerja ke tempat sampah. Tawa-canda pun menyeruak perlahan seperti lagak fade in pada timeline video editor, perlahan mengeras lalu diam diambang desibel untuk mengiringi suasana kota. Jane diam membisu di ujung koridor kafe, menimang-nimang secangkir kopi beraroma coklat dari Indonesia Timur, pukul duapuluhtiga lebih sembilanbelas menit sudah melejit.

"Hai cantik," sapa seorang lelaki mengejutkannya, cangkir kopinya goyah, namun rupanya orang asing itu sangat sigap menangkap dan menaruhnya kembali dengan baik ke dalam genggaman tangan Jane.

"Eh hai, owh, terima kasih..."

"Tidak apa-apa, boleh saya duduk di sini, sepertinya meja dan kursi ini terlalu dingin untukmu yang sangat menawan, sangat sayang bila hanya untuk merendakan kesedihan. Apakah namamu Jane? Saya Lorem," balas si lelaki asing.

Jane terperangah, siapa dia? Gumamnya heran, bagaimana dia tahu namaku, kesedihanku, bahkan kesukaanku untuk dirayu dengan kalimat lembut, duh...

"I iya, aku Jane, Lorem kau kau," Jane mendadak sangat canggung dengan suasana yang berubah menjadi sangat hangat dan romantis, kedua tangannya telah bergayut lembut di jemari Lorem, pipinya merona. Bagaimana mungkin secepat ini? Gumamnya tak mengerti.


***

Apakah dua lenganku terlalu berat untukmu? Karena aku bukan siapa-siapa, hanya deburan ombak di akhir senja yang merindu malam. Tak ada keindahan pun keajaiban yang sering mereka sebut cinta dan kasih sayang....

"Jane, Jane, jane," Lorem melambaikan tangannya di depan mata Jane.

"Ya, ya, aduh maaf, mungkin saya terlalu capek hari ini," elak Jane, pipinya makin merona, seolah pangeran di depannya adalah surga yang datang tanpa diminta.

"Jane, kau adalah siapa-siapa, bukan ketiadaan melaka, bagiku kau adalah bunga di antara gemerlap riang-ria, tanpa seorang pun yang peduli pun menyapa. Itulah kau Jane, iya, begitulah...," rayu Lorem.


So, baby, surrender to me.

There'll be no holding back now.

So, baby, surrender to me tonight.

So, baby, surrender . . . *



Jane makin hanyut, tak tahu lagi bagaimana lepas dari bergayut, sebait lagu lama dari Richard Marx berujudul Surrender to me makin membuatnya gelisah, tak ingin segera berlalu dan berpisah, oh inikah cinta dan awal sebuah kisah? Gumamnya.

Tring.... gelas-gelas kembali beradu, membawa kesadaran Jane kembali, juga aroma-aroma keletihan hari kerja ke tempat sampah. Tawa-canda pun menyeruak perlahan seakan menertawakannya yang berlaku sangat bodoh. Jane kembali terdiam membisu di ujung koridor kafe, menimang-nimang secangkir kopi beraroma coklat dari Indonesia Timur, pukul duapuluh empat sudah menghimpit, seperti kejadian tak enak, saat beberapa saat yang lalu tiba-tiba seorang pramusaji membisikinya dengan sebuah kalimat dahsyat yang membuat sang Pangeran pergi dengan pengawalan dua orang berseragam putih,

"Maaf miss Jane, Lorem ini adalah pasien rumah sakit jiwa yang kabur, maaf, sekali lagi maaf, ia memang romantis, namun ia gila, maaf, apakah dia sudah melukai Anda?"


So, baby, surrender to me.

There'll be no holding back now.

So, baby, surrender to me tonight.

So, baby, surrender . . . *


*surrender to me: Richard Marx

[djs]

Comments

:)