Sepenggal Coklat buat Mona





"Hemhh..."

Lantunan Lough Erin Shore* malam ini sungguh membuat Dona gelisah. Sesuatu yang menakutkan, tentang seseorang yang tak bisa hadir, selalu datang membayanginya, seakan tak ada jalan lain selain bila dia dan seseorang itu mau tinggal di alam khayalan untuk selamanya. Duh, sungguh, renyah tawa kecilnya, bagai gigi-gigi tajam, meskipun menyakitkan, namun sangat nikmat, gumamnya.

Kringgg

"Eh hal.. looo," tergagap Dona menjawab panggilan telepon karena lamunan yang tiba-tiba putus oleh deringnya

"Hai, gimana? Jadi kan?"

"Aduh gimana ya Jack, aku aku akuuu"

"He he he"

"Tapi "

"Iya, iya Don, sekali saja, dan aku tak pastikan i'll do it gently"

"Hemmhh, gimana ya Jack?"

"Aku hitung sampai enam puluh ya Don he he he"

"Duh! Bodohnya aku!" gumam Dona sambil menggigit-gigit kecil bibirnya. Kembali terbayang renyah tawa-tawa kecil yang bagai gigi-gigi tajam merajam,

Mona.. Mona.. haruskah kulakukan ini?

"Ehem.. tigabelas" Jack mengingat

Duh, aku sungguh tak mampu menghindari ini semua! Maafkan aku Mona, semua ini demi kamu, gumam Dona sambil menepuk-nepuk dada yang mulai sesak.

Lough Erin Shore kembali terputar dari awal, matanya sembab, lalu sedikit demi sedikit mulai meneteskan butir-butir air. Bayangan kisah kasih mereka selama bertahun-tahun melesak ke depan mata. Ada bulir-bulir kebodohan di pantai, kegalauan di bukit, di sepanjang jalan kota, dan masih banyak lagi, air mata Dona pun jatuh tak terbendung...

"Empat puluh...."

"Duh.... bentar Jack"

"...."

"Limapuluh sembilan...."

"....."

"Donnnnnn!"

"Don!"

"Woi!"

"Yuhuuuuu...."

"Hah?" tiba-tiba Dona tersadar dari lamunan. Di depan matanya terlihat seorang anak kecil manis bersama seorang wanita cantik yang tangannya masih mengguncang-guncangkan bahunya tanpa henti.

"Mona? Hah? Aku dimana?" tanya Dona gugup

"Kamu dari tadi di sini, di depan rumah pantaimu, sendirian, melamun panjang, bahkan ketika kami datang, kau belum bangun dari lamunan ha ha ha ha"

"Love you Dona," bisik Mona sambil mengecup kedua pipi Dona, si kecil ikut tersenyum manis

"Ohh..," Dona menghela nafas panjang

"Sudahlah Don, aku sudah tahu semuanya kok, aku memaafkan kamu, bahkan sebelum semua ini aku ketahui sendiri dari..."

"Dari Jack?"

"Iya.. dalam menit-menit terakhir sebelum ia meninggal karena kecelakaan waktu itu, dia membisikkan cerita, bahwa...

"Hehhmmff.."

"Hehhmmff.."

"Iya Mon, bahwa aku tak ingin kau terus menerus jadi kekasihku, bahwa kamu harus hidup normal, dan..."

"Dan kau buat janji sama Jack, bahwa bila Jack mau menikahiku - mencintaiku seumur hidupku, maka kau bersedia ia tidurimu malam itu..."

"I i iya.. maafkan aku, aku tak mau kita jadi pasangan sejenis selamanya..."

"Don..."

"iya...."

"Aku ingin kau tahu sesuatu"

"Apa Mon?"

"Jack sungguh-sungguh menepati janjinya, ia mencintai aku, menyayangiku, hingga akhirnya kau dan aku berpisah, lalu kami menikah dan bahagia"

"Syukurlah..."

"Tapi don.. dia kini sudah tiada, dan aku... aku.. aku.."

Mona menangis tiba-tiba, sontak Dona memeluknya, mendekapnya dengan mesra seperti puluhan tahu yang telah lama berlalu. Setengah terisak ia berbisik,

"Aku ingn kau kembali Don..."

"Ah?"

.


deburan ombak nan bisu, tutuplah mataku 

sekian lama memadu rasa 

kini aku tak ingin merdeka 




hamparan pasir yang basah 

lihatlah dua kaki kami nan resah 

sekian lama mencoba cerita dunia 

kini kami tak mampu banyak bicara 




oh inikah cinta duhai semesta? 

S'bab bukan kami yang meminta 

namun rasa ini t'lah terjalin antara dua wanita 

.

.

.


Lough Erin Shore*: 
sebuah lagu instrumentalia karya The Corrs, 
copyright by The Corrs 






.

.


Jogja berdebu dan galau, 21 Februari 2014

pernah di fiksicinta fiksiana/kompasiana,

@bowo bagus

Comments

:)