The Untold Story

@bowobagusphoto



“Kurang ajar! Apa-apaan ini, aku tak boleh lepas bajumu ha? Kenapa?" 
"Hei hei, apa ini? O o o o ternyata kau simpan jimat di kutangmu tho? Hah! Dasar maniak!”

"Oweh?" Terperangah Darjo, mendadak bangun dari kantuk yang sedang melanda. Walah, ada orang gila ya di luar sana? Benar-benar sinting dan bising! Asem! Gumamnya. Beberapa orang di sebelah mejanya tampak juga menoleh ke luar kafe. Suasana mendadak agak riuh, seperti datangnya musim kemarau yang terlalu dini, yang buat suasana gerah dan tak nyaman.

Tiba-tiba orang gila di seberang jalan berteriak lagi;

.

“Hai kau musim kemarau! kau datang terlalu dini,

tak kau lihatkah, saat ini kasutku masih tersimpan rapi di pojok lemari!

.

“Hai kau musim kemarau! Sengat sinarmu membutakan hati dan pikiran, 



mengacaukan mimpi dan kenyamanan. 

aku berlutut, aku mengoyak-oyak baju dan rambut di kepala, 

berbicara dalam kebisuan, dan menyerah! 

Ahhhhhhhh……!” 

.

Plok plok plok



“Luar biasa!” Darjo tanpa sadar bertepuk tangan. Orang itu benar-benar gila atau mantan penyair ya? Ia menggaruk-garuk kepalanya sambil diam-diam mengharap kalimat-kalimat selanjutnya dari orang gila tersebut.

“Mas, mas, sudah mas, minum dulu ya?” tampak seorang pedagang asongan memberikan sebungkus es teh kepadanya.

“Hhhh iya, makasih,” jawabnya sambil menyruput es teh itu. Ketika pedagang asongan itu menanyakan bagaimana rasanya, seketika orang gila itu duduk mengelesot dan menangis, katanya,

“Apa dik?” kau suruh aku minum air kencingmu? Gilakah kau? Hu hu hu,” orang gila itu ambruk dan menangis keras sekali.

Klinting

Saking kagetnya, Darjo menjatuhkan sendok teh. Ah malangnya orang itu. Dalam hati ia menaruh belas kasihan yang dalam, apa benar istrinya segila itu sehingga membuatnya jadi benar-benar gila?

.

**** 

.

"Andai aku yang mengalami peristiwa itu, apakah aku juga tidak akan gila? Ah sudahlah," Darjo menutup pintu dan menikmati malam yang indah dengan minum kopi pahit.

Secarik kertas yang tergeletak di atas meja tampak menarik minatnya.

"Bagaimana bila kutulis saja peristiwa kemarin jadi sebuah cerpen ya?"

Tok otok, tokek, tokek, tokek, rupanya tokek di atas rumah mendengar suara hatinya dan menyatakan setuju!

“Hemmm.. oke! Mari menulis kek,” sahut Darjo kepada tokek sambil menyalakan laptop kesayangannya. Diawali dengan sebait puisi tentang kegersangan jiwa, di tulisnya cerpen itu.




Judul: The Untold Story




Melukismu di kanvas ini, selayak mendera debu yang berkerak merata…
Menghapusmu jua, seperti mengikat tali di leher sendiri.
O di mana dikau cahaya yang kucari?
aku tak sanggup melihatnya….




“Mengapa kau peluk aku dengan kegilaanmu dik? Tawarkah otakmu? Ahhkkk.. aku muak mendengar kemasabodohanmu itu! aku pusing mendengarmu menghardikku dengan harus ini, harus itu, hah! Apa kau merasa sebagai raja kebenaran?” aku mengumpat sejadi-jadinya dan tak peduli lagi.

Kusambar hape dan mencoba menghubungi kawan lama di Jawa,

“Halo bos, piye kabare ki, lagi bunek kisori yo ganggu,” kalimatku terlontar tanpa bisa direm lagi.

“Weh gak pa-pa bos, yak opo, yak opo? Ada apa ni, wah yang sabar ya… disabarin aja, ibaratnya batu karang, kalau ditetesi air hujan, lama-lama juga akan hancur tho?” santai saja, kalau ada perlu apa-apa aku yang telpon saja, kasihan kamu nanti ndak kehabisan uang buat beli pulsa,” sahut suara kawan baikku di ujung sana. Yah, itulah sekelumit kesabaran yang ditanamkan kawan baikku nan jauh di jawa. Bila aku sedang mabuk, mabuk dengan omelan dan makian kasar istri tercinta… eh tercinta? Bukan, terpaksa cinta! Halah! Pusing.

“Kenapa to mas, kok uring-uringan terus, ni tolong sambungin i mac-nya ke PC, bisa tho?” tiba-tiba mas Combro, teman kantorku, membuyarkan lamunanku.

“He he he.. ndak pa-pa, sini, gampang itu, sebentar ya,” jawabku sambil menyembunyikan kegelisahan dari mukaku.

Sambil mengutak atik PC dan Mac, aku bercerita panjang lebar pada mas Combro, bahwa hari-hari ini sama saja dengan hari-hari kemarin, pulang kantor disambut dengan daftar hujatan dan keinginan yang dilempar dengan paksa. Ah coba kalau ada sebatang rokok, tentu bisa langsung kuhisap dalam hitungan detik saking jengkelnya! Coba bayangkan mas, baru saja nikah, belum ada tujuh hari, eee.. sudah kutemukan jimat dicantolkan di bh-nya, asem tenan. Pas kutanya, katanya biar ndak disantet sama tetangganya yang sirik, walah! Mau marah yo pie, gak marah yo gimana.. pusing lah, akhirnya aku ngalah wae.

“Ini mas, sudah bisa konek nih,” aku menyudahi kisahku sambil membereskan kabel dan buku-buku manual yang berserakan.

“Mau pulang sekarang mas?” sahut temanku dan langsung ditimpali lagi,

“Apa gak mending lembur wae, daripada sampe rumah diomeli ha ha ha….”

“Asem ik, lha gimana lagi to yo,” aku tersenyum kecut menjawabnya.

Jarak antara kantor dan rumah kontrakanku lumayan dekat, jadi bisa jalan kaki. Kutolak tawaran teman-teman yang mau mboncengke sampai kontrakan, kataku, biar sehat, sekalian olahraga. Hemm.. padahal aku lagi males banget pulang cepat-cepat, ketemu setan bikin stres! Aku mengumpat dalam hati.

Akhirnya sampai juga aku di kontrakan. Sambil berganti pakaian kucari istriku.

“Dik kamu dimana sih?” teriakku

“Mau ngapain to?” kok nyari-nyari aku, memang kamu dah merasa oke piye? Hah! Jam segini baru pulang, mbok bilang sama bosmu itu, pulangnya kalo jam 4 sore ya jam 4 sore, ndak usah molor, memang ngapain saja di kantor? Diperalat sama juragane saja mau. Kamu itu laki-laki lho harus tanggung jawab, ora leda-lede koyo ngono, wes besok aku mo minta mobil, yang jelek dulu yo ra po-po, masak kerja dah bertahun-tahun punya mobil saja ndak bisa. Ini lagi, nanti kita mo makan lawuh tempe lagi? Ahhhhhh aku bosan tempe terus, aku ndak mau makan tempe lagi, kalo kamu mau terus-terusan makan tempe yo mangano kono dewe! Tapi aku maunya ayam goreng, tahu gak! Sana beli dulu ayam goreng buatku! Cepaaaaaaaaaaaaaaat!”

Sial, dasar sial, wong mau diajak indehoi sore-sore malah dimaki-maki! umpatku dalam hati. Yah, mau tak mau harus segera terbang, mencari penjual ayam goreng dan membeli 1 porsi saja.

“Mbak, sambel sama lalapannya yang banyak ya,” pesanku pada mbakyu-mbakyu penjual ayam goreng itu. Hemm.. baunya enak, sayang uangku muepet benar. Sambil menunggu kucoba sms kakakku minta pinjaman sedikit uang.

Singkat kata, malam sudah bergulir, dan istriku yang bawel sudah kenyang dan tertidur pulas. Tinggal aku sendirian bengong, mau berdoa malu. Kenapa malu bos? Tanya hati kecilku. Yah aku sudah nekat menempuh pilihan ini, menolak nasehat bapak dan ibu, menolak nasehat kakak-kakakku, menolak tanda-tanda yang diberikan Tuhan, dan sekarang semuanya jadi terbalik, yang dulu kelihatannya manis, suka rosario tiap sore, mau masak sendiri, maem sederhana… lha sekarang kok jadi terbalik 180 derjat gini, malu aku, malu benar sama tuhan, apa aku ndak akan ditertawakanNya?

Dialog-dialog tak berujung terus bergulir hingga subuh tiba tanpa aku bisa memejamkan mata sedikitpun. Ahmmm.. aku mencoba berbaring mengistirahatkan badan. Belum sempat 5 menit kutertidur, tiba-tiba istriku bangun dan bilang,

“Mas, ambilke ember, cepat aku mau pipis,” perintahnya

“Weh lha, kalo pipis ya di kamar mandi tho, jangan di ember,” sahutku

“Cepaaaaaaaaat!” atau aku pipis di sini! Huh!” timpalnya

Akhirnya aku mengalah dan jadilah… pipis di kamar, blehhh pesing! Sehabis ia selesai hajat, langsung dirayunya aku,

“Mas, mas, sayang aku gak?” bujuknya

“Hemm,” aku malas menjawab.

“Kalo sayang ini diminum ya, biar tambah sayang,” katanya sambil menuang air kencingnya di gelas.

“Apa?” aku heran dan campur jijik

“Ayo cepat!” ia mulai marah dan memaksaku. Yah, aku yang tak berdaya segera menyudahinya. GILA! Sungguh gila! Umpatku dalam hati. Nek carane begini aku akan mati jadi orang gila. Dan karena kesal, aku segera saja bangun dan oh sial, kakiku terantuk pijakan motor, aku jatuh dan semua tiba-tiba menjadi gelap gulita.

**** 

Oh… aku dimana? Aku siapa? Mengapa aku di kamar ini? Aku mencoba mencari tahu..

“Pagi mas, enak kan di sini? Santai saja ya, disini temannnya banyak,” seorang berpakaian putih bersih menjawab tanyaku.

“Oh….,” aku bertambah bingung dan heran.. aku siapa tho? Mengapa semuanya tampak aneh..

Tak lama seorang suster kukira, datang dan hendak memberiku sebuah suntikan obat. Aku berontak, aku marah, dan aku lari kencang sekali, menabrak pintu, menabrak kursi-kursi, hingga……..

Akhirnya aku terdampar disini, di perempatan jalan depan sebuah kafe-buku. Yah, aku mulai mengingat-ingat sendiri siapa aku, karena banyak anak-anak kecil menyorakiku sebagai orang gila. Apa? Aku gila? Aku waras tau! Jawabku marah pada mereka, dan mereka pun lari terbirit-birit. Waktu terus berjalan seiring aku mencoba mengingat-ingat siapa aku, hingga suatu ketika aku tanpa sadar berteriak lantang:

“Kurang ajar!” Apa-apaan ini, aku tak boleh lepas bajumu ha? Kenapa?"

"Hei hei, apa ini? O o o o ternyata kau simpan jimat di kutangmu tho?

"Hah! Dasar maniak!”

“Apa? Kau suruh aku minum kencingmu? Dasar wanita tak tahu diri!”

.

.

.

.

.

.

kopi itu pahit nak, jangan kau habiskan..

sedikit saja bapak rasa cukup untuk mengukir rasa getir dan pedih, malam dan senja.
.

teh itu manis nak, tapi jangan kau habiskan,

sedikit saja sisakan, untuk menutup rasa getir, anyir, benci, darah, dan air mata

(yang mereka tumpahkan pada lelaki lemah yang kau sebut bapakmu ini)

.

.

___________________________

Yogyakarta, 19 Spetember 2011

bbp

Comments

:)