Sampai kapan?

 

@bowobagusphoto


Srek....*

Kopi itu pahit mbak, seperti lautan badai yang tak hendak hentikan lajunya, berat. Panjenengan bisa lihat atau baca yang seperti di media masa akhir-akhir ini. Aku tak bisa berkoar-koar lagi, beranjak, berdiri, lalu membisikimu, "Aku kuat, aku kuat mbak, do not worry!"

"Hemh..." Jean menghembuskan nafas keras-keras. Selintas ia lihat di kejauhan tampak kabut makin pekat, seputih kertas surat yang sedang ia baca. Beberapa paragraf yang baru terbaca seperti menyuruhnya untuk segera memberi balasan.

Betul Bud, kopinya memang pahit, tulis Jean. Namun bukan berarti tidak enak. Bisa jadi Ia sedang mengajakmu untuk begadang, sejenak menikmati sunyinya dini hari. Bukankah tanpa kopi kau tak bisa melek semalaman? Ingat tidak Bud, waktu kutulis surat untuk Mas, bahwa Tuhan belum sempat datang, karena mungkin Ia sedang di perantauan atau di Afrika bercengkerama dengan anak-anak di tepi jalan. Ingat Bud?

"Hemh..." Jean menghembus lagi nafasnya keras-keras. Jemarinya menolak untuk terus menulis, walaupun baru satu paragraf yang tersurat. Bagaimana sebenarnya kabarmu Bud, pandemi Bud? Gumamnya. Sebutir air mata mulai mengintip di pelupuk mata.

"Mau nambah kopinya mbak?"

"Eh, kopi?"

"Iya mbak, sudah habis tuh kopinya mbak," Tunjuk seorang pramusaji.

"Oh iya, iya, boleh, boleh, sama dengan yang ini ya, takaran airnya dikurangi sedikit dan tidak pake gula ya?" Jean setengah tersadar dari lamunan tentang suratnya kepada Bud dan Mas. Di luar masih turun hujan rintik-rintik, dingin memeluk, gelap menyapa, dan kabut menanti dengan sabar tanpa banyak tanya.

Dari pojok ruangan terdengar lembut alunan lagu sendu, "There can be miracles when you believe. Though hope is frail, it's hard to kill. Who knows what miracles you can achieve. When you believe, somehow you will. You will when you believe...." Sebutir air mata Jean jatuh, luruh...

Sabar ya Bud, mungkin ini kejadian yang paling berat yang pernah kau alami, semoga besok di lain hari tak datang yang lebih berat. Kehilangan pekerjaan, tak ada biaya untuk pengobatan atau sekedar tes untuk memperjelas status, positif atau negatif, dan stereotip tetangga karena isu miring covid. Ah, sudahlah Bud, Mas juga mengalami hal buruk, semua job-nya dibatalkan, tak boleh ada pemotretan, dengan alasan kesehatan, ahh kasihan Bud!

"Silakan kopinya mbak," seorang pramusaji membuyarkan lagi lamunannya

"Eh, kopi?"

"Iya mbak, silakan, ini kopinya, mumpung masih panas."

"Oh ya, terima kasih," balas Jean

Slurpp....

Kopi itu pahit mbak, seperti lautan badai yang tak hendak hentikan lajunya, berat. Panjenengan bisa lihat atau baca yang seperti di media masa pandemi akhir-akhir ini. Aku tak bisa berkoar-koar lagi, beranjak, berdiri, lalu membisikimu, "Aku kuat, aku kuat mbak, do not worry, semua job ku hilang, batal, proyek juga, mo cari bantuan? Non sense!

"Uhuk." Jean tersedak, kalimat "kopi itu pahit mbak..." yang tiba-tiba saja melayang di depan matanya menambah luka. Jemarinya melemah. Grrr.. grrr... Telepon genggam yang berada di atas meja bergetar-getar, seolah berkata padanya, "Sudahlah..."

"Halo Bud, bagaimana.. bagaimana kabarmu? Sabar ya, sabar ya..."

Masih terdengar lembut alunan lagu sendu, "There can be miracles when you believe. Though hope is frail, it's hard to kill. Who knows what miracles you can achieve. When you believe, somehow you will. You will when you believe...." Sebutir air mata jean lagi-lagi jatuh, luruh...

.

dan kesunyian itu pun datang memelukku

sejak senja berakhir dengan deburan ombak keras,
      kehadiran hanya sebuah hiasan dalam gelas, proyektor beku, 
      foto-foto kejadian yang telah lalu

.

.

.

Catatan:

    *Panjenengan = kamu, anda (bahasa Jawa)
    *melek = diartikan dengan begadang/tidak tidur (bahasa Jawa)




Jogja, Juli 2023

djs


       *Sama dengan yang telah saya tulis di blog Kompasiana beberapa waktu yang lalu, untuk event 
Surat Rindu untuk Sahabat yang Berduka,  1/1/2021 (dengan penyesuaian di beberapa bagian)

Comments

:)